REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI

Nahkoda ke-4

Dari Santri Untuk Negeri

Sunday 8 May 2016

Senja Delapan Belas Tahun

Orang bilang:
Senja adalah petang-petang resah
Karena yang dijelang adalah malam
Warna pun kian kelabu
Lalu gelap, pekat dan hitam.

Orang bilang:
Senja adalah detik-detik galau
karena yang dijelang adalah kerentaan yang kian lelah
kesemarakan hanya kenangan
yang lama pudar

Orang bilang:
Senja adalah tepian segala keluh
Daun-daun letih mulai gugur
Bersama mentari yang mulai lusuh

Tapi bagiku:
Senja adalah kematangan dewasa
Pengalaman hidup, utuh ranum
Dalam kemesraan anggun
Dapat menoleh kelampauan menata penantian
Penuh kesejukan syahdu bersama
Tuhanku!

Terasa hangat rahmat nikmat melekat
Sepanjang kembara usia
Delapan belas tahun
Terasa halus dalam belai
Lembut dalam jamah
Segala berkat terurai

Bersama raut senja ada semarak
Keindahan yang semakin sejuk
Seakan ria datang bersama fajar
Menghapus batas sepi.

Saturday 16 April 2016

Pesan Hujan

Telah aku titipkan setetes pesan pada hujan 
 
Bacalah ketika ketukan-ketukannya menyapa pundakmu Atau dengarkan saja

Angin akan membacakannya untukmu Aku tak akan menyapa lagi

Dengan menghambur debar rasa Karena tafsir kalimat seolah tak bertepi

Menghilang ditelan keindahan makna-makna Lenyap terusir teriakan air

Hujan itulah, pesanku…

by: Etika Maria (Parepare)



Monday 11 April 2016

Caraku Merinduimu



Rindu ini tak punya bahasa
Hingga tak bisa kukirim via sms, email,
Inbox ataupun surat bahkan status
Kebodohanku selalu mengira kau tak bisa membacanya
Sementara ini hanya pecahan kalimat yang mesti dituliskan
Yang setiap kali kutulis dan kubaca

Aku selalu ingin menghapusnya
Karena itu bukan rindu yang ku maksud
Kadang juga aku malu,
Orang-orang membaca kerinduanku
Lalu aku menghapusnya lagi
Tapi kerinduan yang bukan rindu ini
Harus menjadi bukti tentang caraku merinduimu

Sunday 10 April 2016

Simbiosis Mutualisme Pesantren


Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Hal ini tidak lain adalah wadah, dimana dalamnya itu berdiri beberapa bangunan: kediaman pengasuh[1], masjid, tempat belajar, dan asrama.
Sejatinya, mekanisme kehidupan di pesantren lebih bersifat simbiosis mutualisme, Dimana ajaran dari kiai kepada santri dan pengabdian santri kepada kiai merupakan timbal balik yang saling menguntungkan. hal ini tentunya membekas dalam jiwa seorang santri yang pada akhirnya membentuk sikap hidup yang sejati. Di sinilah letak daya Tarik yang besar dari pesantren, hingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirim anaknya ke pesantren.
Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan sebuah dunia tersendiri, “dipaksa, terbiasa, akhirnya luar biasa” dimana kesenjangan hidup dipaksa untuk beribadah, dan lambat laun akan terbiasa. peribadahan menempati kedudukan tertinggi. Pemeliharaan cara-cara beribadah yang dilakukan secermat mungkin, hingga pada penentuan jalan hidup seorang santri ketika keluar dari pesantren tidak lepas dari keterbiasaan. titik pusat kehidupan di letakkan pada ukuran peribadahan. Seorang santri akan memelihara kebiasaan mandi sunnah tiap hari jum’at, karena itu merupakan kelengkapan beribadah sholat jum’at itu sendiri.
Waktu bertahun-tahun dihabiskan di pesantren tidaklah dirasakan sebagai kerugian, karena penggunaan waktu di pesantren itu sendiri dinilai sebagai perbuatan beribadah. seperti pola penggunaan waktu dalam kehidupan sehari-hari yang mengikuti pola purnawaktu dengan sholat lima waktu sehari.
Tambatan hati seorang santri dipertautkan pada pengertian beribadah yang sedemikian luas dan menyeluruh. Begitu kuat cengkaman pengertian ibadah atas dirinya, hingga ia akan berkorban untuk mencapai cita-cita menjadi seorang guru atau kiai dan akan rela mengabdi kepadanya, karena itu adalah menifestasi penyerahan secara mutlak, dan merupakan kerja beribadah pula.
Dari sudut kehidupan ibadah, dapat dimengerti bagaimana kecintaan pada ilmu pengetahuan agama yang tertanam begitu kuat di pesantren, ilmu agama dan beribadah menjadi identik. dengan sendirinya muncul kecintaan mendalam pada ilmu agama sebagai nilai utama yang berkembang di pesantren. Kecintaan inilah yang dimenifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti penghormatan seorang santri yang sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut, dan kerelaan bekerja untuk mengembangkan dan memajukan pesantren sebagai tempat menyebar ilmu, tanpa menghiraukan rintangan yang mungkin akan dihadapinya dalam kerja tersebut.
Seperti halnya Pondok pesantren Miftahul Ulum Assimachi Pasuruan, berhasil mencetak ribuan cendekiawan dan ulama yang senantiasa mengabdi pada negeri. Pondok pesantren ini didirikan oleh KH. Sibaweh pada tahun 1951. Dan termasuk salah satu pondok pesantren tertua di pasuruan.
Sepintas pesantren adalah sebuah alternative ideal bagi perkembangan santri, pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan social, dan tujuan-tujuan tersendiri, sehingga lebih terpaku dengan dunia tersendiri dan terpisah dari dunia lain di luarnya.
KH. Jamil Mahfud adalah ketua yayasan pondok pesantren miftahul ulum assimachi pasuruan, ia adalah pemimpin yang bijaksana, dan itu diakui dari kalangan santri, pembina pondok pesantren, dan sampai pada masyarakat sekitar. Ia besar dalam  pesantren dan tentu akan mengabdi untuk pesantren.
Pada awalnya pondok pesantren ini adalah pondok salaf, kemudian terjadi perkembangan dan kemajuan pesat ketika pengasuh pondok bersepakat menetapkan pendidikan formal dua tahun silam. salah satu pertimbangan dari pesantren menetapkan pendidikan formal bahwa, dalam mekanisme pondok pesantren, santri tidak hanya menguasai ilmu agama yang tertera dalam kitab salaf, tapi juga harus menguasai ilmu sains, matematika, dan lainnya. ini sebagai bentuk pengajaran eksotis dalam peradaban pondok pesantren.
Adapun santri yang menetap di dalamnya mencapai 300 santri, sedangkan yang tidak menetap sebanyak 200 santri, dan 57 pembina. Kegiatan keseharian santri yang menetap, memperdalam belajar kitab salaf, membahas kemaslahatan yang populer dalam ruang lingkup masyarakat (Bahtsul masail), dan belajar kehidupan untuk mandiri.
Sampai saat ini, pondok pesantren setiap tahunnya berhasil mengirim santri ke beberapa daerah untuk mengajar ilmu agama dan itu sebagai salah satu syarat untuk mendapat ijazah. setiap alumni harus mengabdi, setelah mengabdi mereka berhak mengambil ijazah. Dari sisi ini, pengabdi harus memiliki jiwa pejuang sekaligus petualang, ia harus siap menerima tantangan dan mau belajar demi melaksanakan tugas dengan baik sesuai harapan yang memberi tugas.
Mengajar ilmu agama bukan suatu kemaslahatan bagi mereka. kewajiban satu tahun untuk mengabdi adalah kesempatan menggali dunia luar dan sebagai pengalaman hidup. Masa pengabdian adalah masa belajar, sebagaimana kita ketahui bahwa belajar yang paling efektif adalah belajar dari pengalaman. Budaya pengabdian akan menumbuhakan pola pikir yang peduli terhadap sesama. Santri dalam hal ini menjalankan tugas sebagai kader agama yang mampu menciptakan rasa peduli terhadap sesama.
Pengabdian adalah sebuah proses pematangan dalam hidup. pengabdi bukan hanya seorang terpelajar yang membaca teks lalu memahami konsep, dia seorang aktor sejarah, segala yang dilakukan menjadi catatan perjalanan hidup.
Cara mengabdi ini adalah bukti konkret berkembang dan majunya pondok pesantren, hal ini berharga bagi seorang santri untuk peka terhadap asalnya, dan tentu dengan tidak melupakan identitas kesantrianya.


[1] di daerah jawa disebut kiai, Sulawesi anregurutta , lombok guru tua, sumatera buya, dan di sunda disebut ajengan.